Ali bin Abi Tholib "Karramallahu Wajhahu"
'Ali bin Abi
Thalib (lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah / 599 - wafat 21 Ramadhan 40 Hijriah / 661 ), adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Nabi Muhammad SAW.
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya
kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan).
Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali
dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda
25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Ia bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan
keluarga Abu Thalib untuk memiliki penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan
disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang
baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW memanggil dengan Ali yang
berarti Tinggi (derajat di sisi Allah). Ali dilahirkan dari
ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi
Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak
laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini
sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga
sedari kecil Ali sudah bersama dengan Nabi Muhammad .
Ali Bin Abu Thalib tumbuh menjadi anak yang cepat
matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan
kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan
penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda
seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi
tameng Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur
beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang
Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia
dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.
Ali bin Abu Thalib adalah seorang dengan perawakan
sedang, antara tinggi dan pendek, perutnya agak menonjol, pundaknya
lebar, kedua lengannya berotot, seakan sedang mengendarai
singa. lehernya berisi. bulu jenggotnya lebat, matanya
besar, wajahnya tampan. kulitnya agak gelap, postur tubuhnya
tegap dan proporsional, bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari
baja.
Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari
ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah Saw. Seperti dideskripsikan
dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi
Thalib bermata besar, berkulit gelap, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot
lebat, bertubuh agak pendek, sangat fasih dalam berbicara, berani, pantang
mundur, dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.
Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan
perang, ia segera maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan
menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa
langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia
bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk kemudian
membuat korban tak berkutik.
Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan
sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan
kemuliaan. Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada
masanya. Setiap kali ia menghadapi musuh di medan perang, maka dapat
dipastikan ia akan mengalahkannya. Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau
masuk dalam hal yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari'at.
Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam
kesederhanaan. Ia makan cukup dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti
kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar,
sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala udara
dingin menghempas.
Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia
akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk
tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi
umat. Ia menempatkan hal pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan
seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian
butiran-butiran air di lautan.
Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman
dengannya melihat ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari
sifat kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang
kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna
berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan.
Ia terkenal kefasihannya. Sehingga
ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan
tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga
mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah
benderang dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak
kefasihan bahasa dan sastra Arab.
Ia sangat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga
Rabb-nya. Serta berbuat baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan
istrinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan
apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau
kenalannya.
Ali Bin Abu Thalib berpendirian teguh, sehingga
menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam
membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh
dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh,
sehingga kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh
di atas praduga yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan
apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan
adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi.
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima
wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut
atau orang ke-2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu
turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh,
berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau
menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum
Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani, atau yang kemudian
dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau.
Didikan langsung dari Nabi kepada
Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir atau syariah dan bathin atau
tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan
cerdas.
Ali bersedia tidur di kamar Nabi
untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan efek Nabi
yang tidur hingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur,
sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke
Madinah bersama Abu Bakar .
Setelah masa hijrah dan tinggal
di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan
putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang paling
tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu percaya kenabian Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.
Ketika Muhammad menemukan Ali
menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap
dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan
membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu
Turab , duduklah. "Turab" yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.
Beberapa saat setelah menikah,
pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali
betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi.
Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, diperkirakan sekitar 36
musuh tewas diujung pedang Ali, dan semua sepakat beliau menjadi bintang
lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Dalam perang Uhud, Ali berduel
dengan 29 musuh dan semua musuhnya itu pun tewas
menemui ajal di ujung pedangnya. "Tidak
ada pedang, setajam pedang Zulfikar dan tidak ada pemuda yang setangguh Ali bin
Abu Thalib" Demikianlah slogan yang selalu
didengung-dengungkan oleh kaum muslimin saat usai perang Uhud yang amat dahsyat
itu tengah berlangsung.
Dalam perang tersebut, Ali bin Abu Thalib
memperlihatkan ketangguhannya sebagai seorang pahlawan Islam yang gagah
perkasa. Ia di kenal sebagai jagoan bangsa Arab yang memiliki keterampilan
memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju besi yang dimilikinya
berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan tidak ada bagian
belakangnya. Ketika di tanya, "Mengapa baju besimu itu tidak
dibuatkan bagian belakangnya, Hai Abu Husein?" Maka Ali bin Abu
Thalib akan menjawabnya dengan mudah, "Kalau seandainya aku menghadapi
musuhku dari belakang, niscaya aku akan binasa."
Perang Khandaq juga menjadi saksi
nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi
Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi
Wud terbelah menjadi dua bagian.
Setelah Perjanjian Hudaibiyah
yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi,
dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang
melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa
disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka
benteng Khaibar, Nabi saw bersabda: "Besok, akan aku serahkan bendera
kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang
berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan
Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Dan
keesokkan harinya Rasulullah ternyata menyerahkan bendera kepemimpinan itu
kepada Ali bin Abu Thalib yang sedang menderita penyakit mata. Kemudian
Rasulullah meludahi kedua belah matanya yang sedang sakit sampai sembuh seraya
berkata, "Hai Ali, terimalah bendera perang ini dan bawalah pasukan
kaum muslimin bersamamu menuju benteng Khaibar hingga Allah membukakan pintu
kemenangan untuk kaum muslimin."
Lalu Ali bin Abu Thalib memimpin tim dan memusatkan
pasukannya di sebuah batu karang besar dekat benteng guna menghimpun kekuatan
kembali. Tak lama kemudian ia memberikan komando untuk bersiap-siap
menyerbu ke benteng dan akhirnya terjadilah perang yang sengit antara kaum
muslimin dengan orang-orang yahudi di sana.
Ali bin Abu Thalib memainkan pedang Zulfikar-nya
dengan gesit dan menghunuskan kepada musuhnya yang berani
menghadang. Tidak ada musuh pun yang selamat dari kelebatan pedang yang di
pegang Ali. Akan tetapi seorang yahudi tiba-tiba menghantamkan pedang
kearahnya dengan keras. Secepat kilat di tangkis serangan itu dengan
tamengnya, sampai terjatuh tamengnya itu. Akhirnya ia raih sebuah pintu
besar yang terbuat dari besi yang berada di sekitar benteng dan dijadikan-nya
sebagai tameng dari serangan pedang orang-orang yahudi lainnya. Dan ia
tetap menggunakan pintu besar itu hingga perang usai dan kaum muslimin
memperoleh kemenangan.
Abu Rofi' seorang sahabat yang ikut perang itu
menyatakan, "Aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri
bagaimana Ali bin Abu Thalib mencabut pintu besi yang besar itu untuk dijadikan
tameng-nya, Setelah tameng-nya terjatuh dari tangannya." Kemudian
setelah perang usai, ada delapan orang laki-laki, salah seorang diantaranya
adalah aku sendiri, yang berusaha untuk menggotong dan menempatkan kembali
pintu besi itu ke tempat semula, tetapi mereka tidak mampu untuk melakukannya
karena terlalu berat. "
Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu mampu menghancurkan
benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani
bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga
terbelah menjadi dua bagian. Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili
nabi Muhammad untuk
menjaga kota Madinah .
Peristiwa pembunuhan terhadap
Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah
membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu
menguasai Madinah tidak memiliki pilihan lain selain Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah memaksa
beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali
satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya
dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Ketika Ali bin Abu Thalib di
angkat menjadi khalifah ke empat menggantikan Khalifah Ustman bin Affan, maka ia tidak pernah melakukan kecurangan atau penyelewengan dalam
pemerintahannya. Ia tidak pernah melakukan korupsi atau memakan uang
rakyat yang ada di "baitul maal." Namun Ia lebih memilih
untuk bekerja sendiri atau menjual harta benda miliknya sendiri untuk mencukupi
kehidupannya sehari-hari.
Bahkan diceritakan bahwa Ia pernah pergi ke pasar
untuk menawarkan pedangnya kepada orang-orang yang berada di sana sambil
berkata, "Apakah di antara kalian yang akan membeli pedangku ini,
karena hari ini aku sedang tidak memiliki uang?" Kemudian orang-orang
balik bertanya, "Bukankah Anda seorang Khalifah yang memiliki uang
banyak ya Amirul Mukminin?" Lalu Ali pun menjawab, "Kalau
seandainya aku memiliki uang empat dirham saja, tentu aku tidak akan menjual pedang
kesayanganku ini."
Pernah suatu ketika Ali bin Abu Thalib tengah menangis
di mihrab Masjid Nabawi seraya berkata, "Wahai dunia, janganlah engkau
bisa memperdayai-ku Tapi perdaya-lah orang-orang selain-ku. Sungguh aku telah
menceraikanmu dari diriku dan jangan engkau kembali kepadaku!"
Sebagai Khalifah ke-4 yang
memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan
yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat
masa pemerintahannya, Perang Jamal, 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu
Bakar, perang tersebut dimenangkan
oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan
Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan
karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi)
oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh
hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan
perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan
terjadi hingga akhir pemerintahannya.
Ditambah lagi dengan terjadinya "perang Shiffin" yaitu perang
antara pasukan Ali bin Abi Thalib ra. melawan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan
yang didalamnya terjadi peristiwa "Tahkim" hal ini menimbulkan
konflik yang parah, hingga memecah belah umat Islam menjadi berfirqah-firqah.
Ali bin Abi Thalib, seseorang
yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami
kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang
ditinggalkan pemerintahan sebelumya.
Ia meninggal di
usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari
golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami
salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas
terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia
di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang
menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan