Pada
suatu hari, ‘Ammar bin Yasir, mengisahkan peristiwa yang terjadi pada waktu
itu. “Saya berjumpa dengan Shuhaib bin Sinan di muka pintu rumah Arqam, ketika
itu Rasulullah Saw. sedang berada di dalamnya. “Hendak ke mana kamu?” tanya
saya kepadanya. “Dan, kamu hendak ke mana?” jawabnya balik bertanya.
“Saya hendak
menjumpai Muhammad Saw. untuk mendengarkan ucapannya,” kata saya. “Saya juga
hendak menjumpainya,” ujarnya pula.
Akhirnya
kami masuk ke dalam, dan Rasulullah menjelaskan tentang aqidah agama Islam. Setelah
kami meresapi yang dituturkannya, kami pun menjadi pemeluknya.
Waktu itu,
bagi fakir miskin, budak belian dan orang-orang perantau, memasuki rumah Arqam
itu merupakan suatu pengorbanan yang melampaui kemampuan yang lazim dari
manusia. Atau melangkahi batas-batas alam secara keseluruhan. Yakni, alam lama
dengan segala apa yang diwakilinya baik berupa keagamaan dan akhlak.
Shuhaib bin
Sinan adalah anak pendatang, sedang sahabat yang berjumpa di ambang pintu tadi
—’Ammar bin Yasir— adalah seorang miskin, tetapi keduanya itu berani menghadapi
bahaya, dan kenapa mereka bersedia untuk menemuinya?
Seperti
itulah, panggilan iman yang tidak dapat dibendung. Atau adanya pengaruh
kepribadian Rasulullah Saw., yang kesan-kesannya telah mengisi hati mereka
dengan hidayah dan kasih sayang (baca: akibat bosan dengan kesesatan dan
kepalsuan hidup mereka selama ini).
Shuhaib
telah menggabungkan dirinya dengan kafilah orang-orang beriman. Bahkan ia telah
membuat tempat yang luas dan tinggi dalam barisan orang-orang teraniaya dan
tersiksa!
Betapa
indahnya, kata-kata yang terucap oleh Shuhaib bin Sinan, sebagai bukti rasa
tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim yang telah bai’at kepada Nabi Saw. dan
bernaung dalam panji-panji agama Islam.
“Tidak suatu
perjuangan bersenjata yang diterjuni Rasulullah, kecuali pastilah aku
menyertainya. Dan tidak ada suatu bai’at yang dijalaninya, kecuali tentulah aku
menghadirinya. Dan tidak ada suatu pasukan bersenjata yang dikirimnya, kecuali
akau termasuk sebagai anggota rombongannya. Dan tidak pernah beliau bertempur
baik di masa-masa pertama Islam atau di masa-masa akhir, kecuali aku berada di
sebelah kanan atau di sebelah kirinya. Dan kalau ada sesuatu yang dikhawatirkan
Kaum Muslimin di hadapan mereka pasti aku akan menyerbu paling depan, demikian
pula kalau ada yang dicemaskan di belakang mereka, pasti aku akan mundur ke
belakang.
Serta aku
tidak sudi sama sekali membiarkan Rasulullah SAW. berada dalam jangkauan musuh
sampai ia kembali menemui Allah…”
Itulah,
kata-kata yang terucap dari mulut Shuhaib bin Sinan, dan bukankah hal tersebut
merupakan suatu gambaran akan keimanan yang istimewa dan kecintaan yang luar
biasa atas Rasul-Nya?
Shuhaib bin
Sinan, telah mengawali hari-hari perjuangannya yang mulia dan cintanya yang
luhur itu pada saat hijrahnya Rasulullah Saw. Pada waktu itu, ditinggalkannya
segala emas dan perak serta kekayaan yang diperolehnya sebagai hasil perniagaan
selama bertahun-tahun di Mekah.
Dalam hal
ini, Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada yang sedia menebus dirinya
demi mengharapkan keridlaan Allah, dan Allah Maha Penyantun terhadap
hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207).
Itulah
gambaran Shuhaib yang telah menebus dirinya dalam beriman itu dengan segala
harta kekayaannya yang telah beliau usahakan selama masa mudanya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan