Jumaat, 21 Ogos 2015

KISAH PARA SYUHADA (1). Shuhaib bin Sinan



 Pada suatu hari, ‘Ammar bin Yasir, mengisahkan peristiwa yang terjadi pada waktu itu. “Saya berjumpa dengan Shuhaib bin Sinan di muka pintu rumah Arqam, ketika itu Rasulullah Saw. sedang berada di dalamnya. “Hendak ke mana kamu?” tanya saya kepadanya. “Dan, kamu hendak ke mana?” jawabnya balik bertanya.

“Saya hendak menjumpai Muhammad Saw. untuk mendengarkan ucapannya,” kata saya. “Saya juga hendak menjumpainya,” ujarnya pula.

Akhirnya kami masuk ke dalam, dan Rasulullah menjelaskan tentang aqidah agama Islam. Setelah kami meresapi yang dituturkannya, kami pun menjadi pemeluknya.
Waktu itu, bagi fakir miskin, budak belian dan orang-orang perantau, memasuki rumah Arqam itu merupakan suatu pengorbanan yang melampaui kemampuan yang lazim dari manusia. Atau melangkahi batas-batas alam secara keseluruhan. Yakni, alam lama dengan segala apa yang diwakilinya baik berupa keagamaan dan akhlak.
Shuhaib bin Sinan adalah anak pendatang, sedang sahabat yang berjumpa di ambang pintu tadi —’Ammar bin Yasir— adalah seorang miskin, tetapi keduanya itu berani menghadapi bahaya, dan kenapa mereka bersedia untuk menemuinya?
Seperti itulah, panggilan iman yang tidak dapat dibendung. Atau adanya pengaruh kepribadian Rasulullah Saw., yang kesan-kesannya telah mengisi hati mereka dengan hidayah dan kasih sayang (baca: akibat bosan dengan kesesatan dan kepalsuan hidup mereka selama ini).
Shuhaib telah menggabungkan dirinya dengan kafilah orang-orang beriman. Bahkan ia telah membuat tempat yang luas dan tinggi dalam barisan orang-orang teraniaya dan tersiksa!
Betapa indahnya, kata-kata yang terucap oleh Shuhaib bin Sinan, sebagai bukti rasa tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim yang telah bai’at kepada Nabi Saw. dan bernaung dalam panji-panji agama Islam.
“Tidak suatu perjuangan bersenjata yang diterjuni Rasulullah, kecuali pastilah aku menyertainya. Dan tidak ada suatu bai’at yang dijalaninya, kecuali tentulah aku menghadirinya. Dan tidak ada suatu pasukan bersenjata yang dikirimnya, kecuali akau termasuk sebagai anggota rombongannya. Dan tidak pernah beliau bertempur baik di masa-masa pertama Islam atau di masa-masa akhir, kecuali aku berada di sebelah kanan atau di sebelah kirinya. Dan kalau ada sesuatu yang dikhawatirkan Kaum Muslimin di hadapan mereka pasti aku akan menyerbu paling depan, demikian pula kalau ada yang dicemaskan di belakang mereka, pasti aku akan mundur ke belakang.
Serta aku tidak sudi sama sekali membiarkan Rasulullah SAW. berada dalam jangkauan musuh sampai ia kembali menemui Allah…”
Itulah, kata-kata yang terucap dari mulut Shuhaib bin Sinan, dan bukankah hal tersebut merupakan suatu gambaran akan keimanan yang istimewa dan kecintaan yang luar biasa atas Rasul-Nya?
Shuhaib bin Sinan, telah mengawali hari-hari perjuangannya yang mulia dan cintanya yang luhur itu pada saat hijrahnya Rasulullah Saw. Pada waktu itu, ditinggalkannya segala emas dan perak serta kekayaan yang diperolehnya sebagai hasil perniagaan selama bertahun-tahun di Mekah.
Dalam hal ini, Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada yang sedia menebus dirinya demi mengharapkan keridlaan Allah, dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207).
Itulah gambaran Shuhaib yang telah menebus dirinya dalam beriman itu dengan segala harta kekayaannya yang telah beliau usahakan selama masa mudanya.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan